Ketika PT Central Indo Prima Group Menghadirkan Pupuk dan Harapan Petani di Asahan
Buruhasahan.web.id - Ada satu hal yang sering terlupakan dalam setiap pembicaraan tentang pertanian: tanah itu hidup. Ia bukan sekadar media tanam, tapi tubuh yang menanggung beban dari semua ambisi manusia untuk panen besar dan cepat.
Selama puluhan tahun, banyak petani di Indonesia termasuk di Sumatera Utara bergantung pada pupuk kimia. Lahan yang dulu subur kini perlahan kehilangan daya. Tanah jadi keras, gersang, dan sulit menyimpan air. Ironisnya, ketika hasil panen menurun, yang disalahkan justru petaninya.
Di tengah situasi itu, muncul satu inisiatif dari Asahan yang mencoba melawan arus: PT Central Indo Prima Group (CIP Group). Perusahaan ini berdiri sejak 1 Oktober 2018, bukan dari modal besar, melainkan dari keyakinan sederhana bahwa “kesuburan tanah adalah hak semua petani.”
Dari Lahan UMKM ke Gerakan Pupuk Organik
CIP Group memulai perjalanannya dari bawah. Bukan perusahaan besar dengan pabrik megah, tapi sebuah unit usaha kecil menengah (UMKM) yang berani mencoba hal yang dianggap “kurang laku”: memproduksi pupuk organik.
Di awal perjalanan, banyak yang mencibir. Pupuk organik dianggap tidak praktis, hasilnya lama, dan mahal. Tapi orang-orang di balik CIP Group tetap jalan. Mereka percaya bahwa jika tanah terus diberi zat kimia tanpa henti, cepat atau lambat ia akan mati dan petani ikut sengsara.
Produk pertama mereka diberi nama KNP Granule Harimau Rokan, sebuah nama yang kuat dan lokal. “Harimau” mewakili daya tahan dan kekuatan tanah, sementara “Rokan” merujuk pada akar geografis dan kultural di wilayah Sumatera.
Kini, produk itu dikenal di kalangan kelompok tani dan pekebun di Sumatera Utara. Tidak sedikit petani yang mengaku hasil panennya mulai membaik setelah beralih dari pupuk kimia ke KNP Granule Harimau Rokan.
Antara Idealisme dan Tantangan Pasar
Tapi tentu saja, jalan menuju pertanian berkelanjutan tidak mudah. Bersaing di industri pupuk berarti bersaing dengan raksasa-raksasa yang sudah lama menguasai pasar. Pupuk kimia masih disubsidi besar-besaran oleh negara, sedangkan pupuk organik seperti buatan CIP Group harus berjuang dengan biaya sendiri.
Namun, itulah yang membuat kisah CIP Group menarik. Mereka tidak sekadar menjual produk, tapi menjalankan gerakan kecil untuk menyadarkan petani bahwa ada cara bertani yang lebih sehat dan lebih adil.
“Kalau kita terus bergantung pada pupuk kimia, kita cuma memperkaya pabrikan besar. Sementara tanah kita rusak, dan petani makin tergantung,” ujar salah satu petani binaan mereka dalam sebuah diskusi komunitas. Kalimat itu sederhana tapi menggigit: menggambarkan realitas ketimpangan di sektor pertanian yang jarang dibahas media besar.
Pupuk, Politik, dan Perlawanan Sunyi Petani
Kalau kita mau jujur, persoalan pupuk di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari politik. Setiap tahun, ada jutaan ton pupuk kimia yang beredar dengan subsidi pemerintah. Tapi di lapangan, petani kecil sering tidak kebagian. Distribusi tersendat, harga naik, dan kadang pupuk yang datang pun sudah kadaluarsa.
Di sisi lain, pupuk organik yang lebih ramah lingkungan justru minim dukungan. Inilah ruang yang coba diisi oleh CIP Group bukan untuk melawan negara, tapi untuk menunjukkan bahwa kemandirian pangan bisa dimulai dari kemandirian pupuk.
Mereka membangun model bisnis yang tidak sekadar berorientasi pada laba, tapi juga berbasis komunitas. Kelompok tani binaan, mitra pemuda, dan jaringan pekebun lokal menjadi bagian penting dalam sistem distribusi mereka.
Di sini, CIP Group berperan sebagai penghubung: antara ilmu pengetahuan, pasar, dan perjuangan petani di lapangan.
Filosofi “Tanah Tidak Bisa Dibohongi”
Salah satu filosofi yang selalu mereka pegang adalah: “Tanah tidak bisa dibohongi.” Jika diberi nutrisi alami, tanah akan membalas dengan kesuburan jangka panjang. Tapi jika terus dipaksa dengan bahan kimia, cepat atau lambat ia akan menolak.
CIP Group tidak hanya bicara, mereka juga turun langsung. Melalui program konsultasi gratis, mereka membantu petani mengenali karakter lahan dan kebutuhan tanamannya. Hal-hal seperti pH tanah, kadar organik, dan pola tanam diperiksa bersama. Tidak jarang, tim mereka ikut turun ke sawah, membuktikan bahwa pupuk organik bukan sekadar teori.
Dari pendekatan semacam ini, tumbuh rasa percaya. Petani tidak lagi melihat perusahaan sebagai “penjual produk”, tapi sebagai mitra dalam memperjuangkan kesuburan tanah.
Ketika Industri Hijau Bertumbuh dari Desa
Yang menarik dari CIP Group adalah cara mereka menggabungkan ekonomi dan ekologi. Mereka tahu bahwa bicara tentang lingkungan saja tidak cukup, karena petani tetap butuh makan. Maka, mereka merancang model usaha yang bisa menciptakan keuntungan tanpa merusak bumi.
Dengan bahan baku lokal dan tenaga kerja dari masyarakat sekitar, perusahaan ini berhasil menghidupkan rantai ekonomi baru di wilayah Asahan. Limbah pertanian dan peternakan yang dulunya dibuang, kini diolah menjadi sumber bahan pupuk granul. Dari sinilah muncul efek domino: pengurangan limbah, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan lokal.
Model seperti ini layak disebut sebagai ekonomi hijau versi rakyat, bukan versi korporasi besar yang hanya menjual citra.
Legalitas dan Kepercayaan Publik
Tidak seperti sebagian produsen kecil lain, CIP Group memilih jalur resmi sejak awal. Mereka mengurus semua legalitas perusahaan mulai dari AHU, SIUP, TDP, PB-UMK, hingga sertifikasi laboratorium.
Langkah ini bukan sekadar formalitas. Dalam dunia agribisnis, legalitas berarti kepercayaan. Dan kepercayaan inilah yang membuat produk mereka bisa diterima oleh kelompok tani, toko pertanian, bahkan perusahaan agribisnis besar yang mulai beralih ke sistem ramah lingkungan.
Menariknya, dukungan pemerintah daerah juga datang tanpa diminta. Bupati Asahan dan Ketua DPRD Asahan memberi apresiasi terhadap kiprah CIP Group karena dinilai ikut membantu program pertanian berkelanjutan berbasis lokal.
Menjual dengan Nurani, Bukan Sekadar Angka
Di website resminya, CIP Group menulis dengan jujur: mereka tidak hanya menjual pupuk, tapi menjual “solusi pertanian yang adil dan berkelanjutan.”
Harga produk mereka disesuaikan dengan kemampuan petani bahkan tersedia opsi pembelian kecil bagi mereka yang belum sanggup beli dalam jumlah besar. Ini mungkin tampak sepele, tapi di dunia pertanian, fleksibilitas seperti ini bisa menyelamatkan satu musim tanam.
Selain itu, mereka memberikan jaminan kualitas dan layanan purna jual. Jika pupuk bermasalah, tim mereka siap turun tangan. Semua ini menunjukkan satu hal: kepercayaan dibangun bukan lewat iklan, tapi lewat tindakan nyata.
Pertanian Berkelanjutan, Jalan yang Panjang Tapi Pasti
Pertanian organik memang bukan jalan mudah. Butuh waktu, kesabaran, dan kesadaran kolektif. Tapi kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi?
CIP Group telah membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari daerah kecil. Dari sebuah pabrik di Asahan, mereka membawa semangat untuk memperbaiki tanah, menghidupkan kembali pertanian, dan mengembalikan martabat petani sebagai penjaga bumi.
Pertanyaannya sekarang: apakah kita siap mendukung gerakan seperti ini? Karena tanpa dukungan publik, perjuangan semacam ini bisa tenggelam di tengah bisingnya industri besar dan politik subsidi.
Harapan dari Sumatera Utara
Melihat kiprah mereka, sulit untuk tidak merasa optimis. CIP Group bukan hanya perusahaan; ia adalah contoh bagaimana ekonomi rakyat bisa berjalan beriringan dengan kepedulian lingkungan.
Di tengah dunia yang semakin pragmatis, masih ada mereka yang percaya bahwa tanah, petani, dan alam harus diperlakukan dengan hormat. Bahwa keberlanjutan bukan sekadar kata tren, tapi tindakan sehari-hari.
Dan mungkin, dari Asahan dari tangan-tangan para pekerja yang mencampur bahan pupuk organik itu setiap hari kita sedang melihat lahirnya masa depan pertanian Indonesia yang lebih adil, hijau, dan manusiawi.