Buruh Indonesia Suarakan Status Pekerja Transportasi Online di Forum Internasional Jenewa
Isu ketenagakerjaan global kembali mencuat panas dalam Konferensi Buruh Internasional (International Labour Conference/ILC) ke-113 yang tengah berlangsung di Jenewa, Swiss. Delegasi buruh Indonesia tak tinggal diam. Mereka membawa sejumlah persoalan strategis yang tidak hanya relevan secara global, tetapi juga sangat mengakar pada realita ketenagakerjaan di Tanah Air.
Konferensi yang digelar oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) ini secara resmi mengusung tiga topik utama: bahaya biologis di tempat kerja, dinamika pekerja platform digital, dan formalisasi pekerja informal. Sekilas, mungkin terdengar teknis dan normatif. Tapi jangan salah—isu-isu ini punya dampak langsung pada jutaan pekerja Indonesia, terutama mereka yang berada di garis depan ekonomi digital.
Salah satu pembahasan yang memanas adalah soal status pekerja transportasi online. Isu ini meledak jadi perdebatan serius dalam sidang Komite Platform. Diskusinya berlangsung alot, bahkan sampai larut malam selama beberapa hari berturut-turut. Titik krusialnya? Pengakuan terhadap para pengemudi ojek online yang selama ini disebut “mitra”, bukan “pekerja”.
Perdebatan semantik ini ternyata lebih dalam dari sekadar istilah. Kalau status mereka tetap “mitra”, maka para pengemudi itu secara hukum tak punya akses ke perlindungan dasar ketenagakerjaan: jaminan sosial, upah minimum, waktu kerja yang wajar, atau hak untuk berserikat. Dan itulah yang coba didobrak oleh sebagian besar delegasi pekerja, termasuk dari Indonesia.
Buat konteks, ILO sendiri sejak lama dikenal sebagai lembaga yang mendorong prinsip kerja layak (decent work) dan keadilan sosial. Pendekatan ILO dibangun atas dasar tripartisme, artinya ada tiga pihak yang duduk sama rata: pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat buruh. Format ini dipakai untuk menyusun dan memantau standar ketenagakerjaan global yang bisa dijadikan acuan oleh 187 negara anggota, termasuk Indonesia.
Namun, masalahnya dunia kerja berubah lebih cepat dari regulasi. Ekonomi digital telah menciptakan jenis hubungan kerja baru yang belum sepenuhnya dikenali hukum—baik secara nasional maupun internasional. Pekerja platform seperti pengemudi ojek online, kurir aplikasi, atau content creator seringkali terjebak di antara kategori: bukan pegawai tetap, tapi juga bukan pekerja lepas murni.
“Status ‘mitra’ sering dijadikan dalih untuk menghindari kewajiban pengusaha terhadap buruh,” begitu kata salah satu perwakilan serikat buruh Indonesia yang ikut dalam konferensi ini. Ia menambahkan, “Yang harus kita dorong adalah pengakuan bahwa pekerjaan mereka punya kontribusi ekonomi nyata dan pantas mendapat perlindungan layaknya pekerja formal.”
Isu ini bukan hanya masalah Indonesia. Di banyak negara lain seperti India, Meksiko, Kenya, hingga Inggris dan Amerika Serikat, nasib pekerja platform digital juga sedang jadi bahan perdebatan hukum dan kebijakan. Bahkan di beberapa negara maju, sudah ada langkah-langkah hukum untuk mewajibkan platform digital memperlakukan mitra mereka sebagai pekerja tetap dengan semua haknya.
Yang bikin konferensi makin tegang adalah deadlock berkali-kali. Beberapa negara maju condong pada pendekatan fleksibilitas hubungan kerja, dengan argumen bahwa ekonomi digital membutuhkan model yang adaptif. Sementara sebagian negara berkembang—termasuk Indonesia—lebih menekankan urgensi perlindungan hak dasar para pekerja yang sering kali tak punya pilihan lain selain menggantungkan hidup dari aplikasi.
Di luar itu, dua isu besar lainnya juga tak kalah penting. Bahaya biologis di tempat kerja menjadi sorotan setelah pandemi COVID-19 menyadarkan dunia bahwa tempat kerja bisa jadi titik rawan penularan penyakit. Sektor-sektor seperti kesehatan, pertanian, dan manufaktur jadi fokus utama pembahasan.
Lalu ada formalisasi pekerja informal—isu klasik yang masih jadi PR di banyak negara berkembang. Di Indonesia, jumlah pekerja informal masih mendominasi lebih dari 55 persen angkatan kerja. Tanpa skema jaminan sosial dan perlindungan hukum yang jelas, kelompok ini jadi sangat rentan terhadap guncangan ekonomi, kecelakaan kerja, hingga eksploitasi.
Makanya, kehadiran delegasi buruh Indonesia di ILC ini punya arti strategis. Ini bukan sekadar diplomasi meja bundar, tapi pertarungan untuk masa depan kerja yang lebih manusiawi. Apalagi saat ini, perubahan iklim, digitalisasi, dan ketidakpastian ekonomi global sedang menguji ketahanan struktur pasar tenaga kerja di berbagai belahan dunia.
Harapannya, hasil dari forum ini bisa jadi dorongan bagi pemerintah Indonesia untuk segera menata ulang regulasi ketenagakerjaan, khususnya yang menyangkut pekerjaan berbasis platform digital. Kalau tidak, jutaan pekerja di sektor ini akan terus terjebak dalam status “abu-abu”—dihisap tenaganya, tapi diabaikan haknya.
Karena pada akhirnya, pekerjaan yang layak bukan soal jenis industri atau teknologi yang digunakan, tapi soal seberapa manusiawi kita memperlakukan orang-orang yang bekerja demi roda ekonomi tetap berputar.